Era Regulasi
Perdagangan Produk Pertanian Organik di Indonesia:
Dimana petani kecil ditengah hiruk pikuk
perdagangan produk pertanian organic.
Petani yang sedang belajar untuk penjaminan mutu organik(PAMOR)
Hiruk Pikuk Perdagangan Produk Pertanian Organik
Dalam beberapa dekade terakhir ini secara global
maupun nasional pasar pertanian organik berkembang sangat pesat
Scialabba (2005)[2]
dari FAO (Food and Agriculture
Organisation) melaporkan selama tahun 1995-2004 sektor pertanian organik
mengalami pertumbuhan rata rata sekitar 15-20% per tahun sementara sektor
industri pangan secara kesuluruhan hanya mengalami pertumbuhan rata rata
sekitar 4-5% per tahun. Menurut Organic
Monitor (2011) trend pertumbuhan antara 15-20% per tahun ini masih bertahan
sampai tahun 2010.
Secara nasional memang belum ada angka yang bisa
didapat tentang pertumbuhan ini. Namun berdasarkan survei yang dilakukan oleh
AOI (2011)[3] di beberapa
kota dapat disimpulkan bahwa jumlah produser baru, pemasok ke super market dan
merek dagang semakin bertambah. Komoditas yang diperdagangkan juga semakin
beragam termasuk telulr, dan beberapa jenis beras khusus. Harga sayuran
rata-rata meningkat 18% dibandingkan harga sayuran sejenis di tahun sebelumnya.
Dan jika dibandingkan dengan harga sayuran konvensional di pasar
tradisional maka harga rata-rata produk pertanian organik di super market
adalah antara 2-3 kali lipat.
Jika secara global perdagangan produk pertanian
organik 20 tahun yang lalu didominasi oleh toko-toko khusus maupun penjualan
langsung ke komunitas konsumen, maka dalam kurun waktu 10 tahun terakhir trend
perdagangan global sudah mulai bergeser ke pasar mainstream yaitu super market.
Di Indonesia trend yang sama juga berlangsung. Produk pertanian organik
semakin mudah ditemui di super market. Namun pada umumnya produk pertanian
organik di super market adalah tidak bersertifikat[4].
Statistik Pertanian Organik 2010 (SPOI)[5] yang
dipublikasikan oleh AOI mendata bahwa total luas area pertanian organik di
Indonesia tahun 2010 adalah 238,872.24 Ha, meningkat 10% dari tahun sebelumnya.
Angka ini mencakup luas area pertanian organic yang disertifikasi (organik dan
konversi), dalam proses sertifikasi, sertifikasi PAMOR dan tanpa sertifikasi. Kebanyakan
produk yang disertifikasi adalah produk eksport seperti kopi, cacao, madu,
mete.
Hal lain yang tidak kalah menariknya adalah
kecenderungan restoran besar untuk menggunakan beras organik sebagai penarik
konsumen. Lebih mengagetkan lagi adalah adanya menu nasi organik di salah satu
restoran cepat saji Kentucky Fried
Chicken.
Dari gambaran di atas ini kita bisa menyimpulkan
bahwa perdagangan produk pertanian organik sedang tumbuh pesat.
Regulasi Pertanian
Organik
Di Indonesia secara hukum
pada dasarnya produk yang dijual sebagai produk organik adalah produk yang
diproduksi sesuai dengan Standard
Nasional Indonesia (SNI) Sistem
Pangan Organik yang disahkan oleh
Badan Standardisasi Nasional melalui BSN SNI 01-6729-2002[6]. Untuk membuktikan
bahwa proses produksi memenuhi standard tersebut maka produk tersebut harus
disertifikasi oleh lembaga sertifikasi yang mendapat akreditasi dari pemerintah
melalui KAN (Komite Akreditasi Nasional). Pelanggaran terhadap aturan ini
adalah merupakan pelanggaran terhadap UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Penggunaan standard dan label (sertifikasi)
merupakan upaya pemerintah melindungi konsumen dan petani organik dari
mereka-mereka yang berlaku curang di dalam melakukan perdagangan produk organik.
Upaya pemerintah Indonesia ini sebenarnya mengadopsi sistem perdagangan produk
organik yang berlaku secara umum di dunia internasional.
Walaupun pelaksanaan regulasi ini belum
optimal namun secara pasti peraturan ini akan semakin berlaku efektif. Sejak
awal tahun 2011 misalnya beberapa super market sudah mensyaratkan sertifikat
organik bagi produk organik yang di pasok supplier. Padahal produk organik tersebut
sebelum-sebelumnya sudah secara rutin mengisi gerai-gerai di super market
tersebut. Permintaan super market ini sejalan dengan adanya surat edaran
pemerintah untuk hanya memasarkan produk pertanian organik yang memiliki
sertfikat dari lembaga yang sudah mendapat akreditasi dari pemerintah.
Persoalannya adalah, kalau peraturan ini
berlaku efektif, apakah petani kecil masih bisa menjual produk pertanian
organiknya?
Perlahan tapi pasti, era regulasi pangan organik akan
menyingkirkan petani berskala kecil dari hiruk pikuk perdagangan produk organik.
Perkembangan perdagangan produk organik yang sebenarnya berpeluang meningkatkan
kesejahteraan petani, membebaskan petani kecil dari kemiskinan dan ketidak
adilan, dan menjamin keberlanjutan penghidupan, ternyata justru semakin
menyingkirkan petani dan tentu saja mengancam keberlanjutan penghidupan. Petani
kecil yang secara turun temurun mengembangkan pertanian organik justru
tersingkir ketika produk organik semakin diminati oleh masyarakat. Ketersingkirannya
bukan karena dia merubah cara produksinya tetapi karena regulasi yang ada
menutup aksesnya ke pasar.
Ada dua alasan penting yang membuat petani berskala kecil tersingkir
akibat regulasi perdagangan produk organik tersebut yaitu:
1.
Biaya sertifikasi tidak terjangkau oleh petani
kecil.
Biaya
sertifikasi relatif mahal khususnya jika lahan pertanian yang akan
disertifikasi adalah kecil. Biaya sertifikasi
nasional untuk wilayah di Jawa misalnya kurang lebih antara Rp 5-15 juta per
satu unit usaha tani. Biaya sertifikasi ini tentu saja tidak akan bisa dibayar
oleh petani kecil yang rata-rata luas lahannya di bawah 1 Ha. Biaya ini bisa
meningkat 3-5 kali lipat jika sertifikasi yang dibutuhkan adalah untuk pasar
internasional. Memang ada opsi dimana petani boleh meng-koordinasikan beberapa
lahan pertanian yang satu hamparan menjadi satu sistem produksi untuk
disertifikasi dan kemudian mengembangankan mekanisme kontrol internal yang
disebut dengan Internal Control System.
Model ini sebenarnya merupakan perpanjangan tangan lembaga sertifikasi kepada
kelompok pengelola yang dibentuk oleh mereka-mereka yang lahan pertanian secara
bersama ingin disertifikasi. Namun tetap saja sertifikat dikeluarkan oleh
lembaga sertifikasi dan untuk proses sertifikasi tersebut petani harus
membayarnya.
Disamping itu sertifikat yang dikeluarkan lembaga sertifikasi
juga memiliki masa berlaku paling lama 1 tahun dan jika sudah habis masa
berlakunya maka lahan produksi harus diinspeksi lagi oleh lembaga sertifikasi
agar sertifikat bisa diperpanjang. Tentu saja ini memerlukan biaya yang tidak
sedikit.
2.
Standard dan proses sertifikasi yang ada
tidak sesuai dengan budaya dan realitas petani.
Proses sertifikasi sangat sarat dengan
proses verifikasi dokumen-dokumen transaksi yang dilakukan petani sehubungan
kegiatan produksinya seperti misalnya untuk pengadaan bibit, kompos, dan sarana
produksi lainnya. Persoalannya adalah
banyak sekali transaksi yang dilakukan petani tidak dilengkapi dengan dokumen
tertulis yang layak menurut standard sertifikasi. Disamping itu, ketidak
bersahabatan petani dengan tulis menulis membuat mereka kesulitan mengadakan
dan mengelola dokumen-dokumen tersebut. Apalagi kebanyakan petani tinggal di
rumah yang tidak didesain untuk memiliki tempat menyimpan dokumen secara rapi.
Akibatnya sulit sekali bagi petani memenuhi standard dokumen agar layak
mendapat sertfikat organik.
Posisi Aliansi Organis Indonesia
Prinsip
dasar pertanian organik adalah keharmonisan ekosistem. Pertanian organik bukan
sekedar tidak menggunakan bahan kimia buatan tetapi merupakan sebuah cara
bertani dimana mendukung alam berproses sebagaimana seharusnya dia berproses.
Alam tidak dieksploitasi untuk berproduksi secara eksploitatif, misalnya:
-
genetika
alamiah mahluk hidup tidak diotak-atik hanya agar dia bisa berproduksi terus
menerus
-
proses
pembusukan alamiah yang bisa dilakukan organisme tertentu tidak diutak-atik agar
bisa membusukkan lebih cepat dan lebih hebat dari kemampuan alamiahnya
-
proses
makan memakan antara mahluk hidup di dalam ekosistem dipercepat hanya karena
tidak ingin berbagi hasil dengan mahluk hidup lain.
Secara
turun temurun petani telah mempraktekan prinsip-prinsip keharmonisan ini sampai
pada era dimana revolusi di sektor pertanian dilakukan, dan sifat serta sikap eksploitatif diperkenalkan.
Hebatnya, pada umumnya petani kecil tidak terpengaruh dan tetap pada pilihannya
menghormati alam dan bertani selaras dengan alam.
Tidak
dapat dipungkiri bahwa perlindungan konsumen dan petani adalah sesuatu hal yang
perlu dilakukan sehingga petani dan konsumen tidak dirugikan oleh para pihak
yang berlaku curang dengan memperdagangankan produk non organik sebagai produk
organik. Mungkin sistem sertifikasi adalah salah satu jawaban. Namun sistem
yang ada harus tetap membuka akses bagi petani berskala kecil untuk bisa masuk.
Oleh
sebab itu AOI melihat regulasi yang ada saat ini harus dilengkapi dengan
hal-hal sebagai berikut:
1.
Penetapan standard pertanian organik
mengacu kepada realitas dan budaya petani dan bersifat progressive realization.
Petani
berskala kecil harus dimampukan untuk memenuhi standard. Karenanya pemenuhan
standard harus bersifat progressive realization
yang berarti melihat proses pemenuhan mencapai standard sebagai sebuah upaya
sistematis dan bertahap. Proses pemenuhan standard harus berangkat dari kondisi
dan realitas petani saat ini yang kemudian secara progressive dimampukan menuju
standard yang ditentukan. Bukan sebaliknya dimana standard menjadi basis kriteria
tanpa ada dukungan untuk memampukan petani dan lingkungannya mencapai kriteria
ideal yang disebut standard.
Adalah
kewajiban Negara untuk memampukan petani berskala kecil sehingga mampu memenuhi
standard tersebut. Namun titik awal yang dilihat adalah praktek bertani organik
petani saat ini. Petani kecil tidak boleh kehilangan haknya untuk menjual
produk pertanian organik hanya karena tidak memenuhi standard yang jelas-jelas
tidak sesuai dengan realitas penghidupan petani.
2. Pengakuan atas sistem penjaminan berbasis komunitas
Penjaminan atas produk pertanian organik adalah
mekanisme penting untuk melindungi petani organik dan konsumen. Namun mekanisme
penjaminan tidak hanya dilakukan oleh lembaga sertifikasi. Pemerintah harus
mengakui sistem penjaminan berbasis komunitas. Yang penting adalah ada pihak
yang menjamin bahwa proses produksi yang dilakukan adalah secara organik. Para
pihak tersebut adalah anggota komunitas itu sendiri ataupun bersama konsumen
utamanya. Sistem penjaminan berbasis komunitas ini atau yang dalam pergaulan
internasional gerakan pertanian organik disebut PGS (Participatory Guarantee System) sudah diakui di beberapa Negara
seperti Prancis dan Brazil setara dengan system penjaminan oleh lembaga
sertifikasi[7]. Secara
ekstrim pemerintah Australia malah tidak mengatur sistem penjaminan di pasar
domestiknya dan menyerahkan mekanisme penjaminan pasar domestik kepada sistem
dan struktur yang ada[8].
3.
Tidak mewajibkan petani berskala kecil
menggunakan sertifikat
Petani
dengan jumlah penjualan per panen di bawah 50 juta rupiah atau luas lahan di
bawah 1 Ha layak dibebaskan dari kewajiban harus menggunakan sertifikat tetapi
tetap boleh menjual produknya sebagai produk pertanian organik. Negara seperti
Amerika Serikat saja membebaskan petani kecil dengan skala penjualan dibawah
US$ 5.000 untuk menjual produk organiknya dengan tidak menggunakan sertifikat[9].
4.
Dukungan biaya sertifikasi
Kebijakan
ini yang paling banyak diambil oleh pemerintah di seluruh dunia. Pemerintah
mengambil kewajiban membayar biaya sertifikasi bagi petani kecil dengan
proporsi yang bermacam-macam. Pemerintah Amerika Serikat misalnya menanggung
75% dari biaya sertifikasi untuk petani-petani dengan skala luasan tertentu. Pemerintah
Cina, India, dan banyak Negara lainnya juga melakukan hal yang sama.
5.
Mendorong dan mengkampanyekan Perdagangan
Adil
Perdagangan yang adil adalah slogan
gerakan yang dikumandangkan para pegiat gerakan sosial untuk mengkounter
perdagangan bebas. Dalam bahasa Inggris kedua kata ini berdekatan yaitu Free Trade vs Fair Trade. Free Trade menjunjung tinggi kebebasan
yang seringkali tidak seimbang. Petani miskin atau Negara miskin misalnya diajak
berlomba lari secara bebas dengan petani kaya atau Negara kaya. Padahal karena
kekayaannya Negara kaya atau petani kaya bisa membuat peraturan sehingga apa
yang disebut bebas sebenarnya adalah kondisi yang menguntungkan mereka yang
lebih berdaya. Hal yang sama terjadi dengan regulasi perdagangan produk
pertanian organik dimana peraturan dibuat, tetapi jelas tidak bisa dipenuhi
oleh petani kecil. Konteks ini juga terjadi dalam perjanjian antara Negara.
Berangkat dari ketidak-adilan ini maka para pegiat gerakan sosial mempromosikan
perdagangan alternatif yang disebut fair
trade atau perdagangan yang adil. Ada
banyak organisasi pendukung gerakan fair
trade yang tergabung dalam organisasi seperti Fairtrade International,
World Fair Trade Organization, Network of European Worldshops
, dan European Fair Trade
Association. Definisi yang digunakan secara informal oleh keempat organisasi
ini tentang fair trade adalah ”a
trading partnership, based on dialogue, transparency and respect, that seeks
greater equity in international trade” atau “ kerjasama dagang
berdasarkan dialog, transpransi dan rasa hormat, untuk mencapai kesetaraan yang
lebih besar di perdagangan internasional. [10] Untuk itu ada beberapa prinsip fair trade atau perdagangan yang adil
yang menjadi pegangan para pegiat gerakan ini yaitu antara lain:
·
Market
Access for Marginalised producers (akses pasar
bagi produser marginal)
·
Sustainable
and equitable relationship (hubungan yang setara dan berkelanjutan)
·
Capacity
building and empowerment (pengembangan kapasitas dan penguatan)
·
Consumers
awareness raising and advocacy (peningkatan kesadaran konsumen dan
advokasi)
·
Fair
trade as a social contract (perdagangan yang adil sebagai kontrak
social)
·
Adhere
on ILO standard on labour (mengacu kepada standard ILO untuk
perburuhan)
·
Dalam kegiatan bisnis
harus ada unsur aktif memerangi kemiskinan
·
Pembayaran
layak dan lancar
·
Tidak
mempekerjakan tenaga kerja anak
·
Menghormati
lingkungan
·
Kesetaraan
gender
·
Hubungan bisnis yang berkesinambungan
·
Ada unsur partnership yang saling
membesarkan.
Penutup
Pertanian organik bukanlah sekedar bertani dengan
tidak menggunakan bahan kimia buatan. Pertanian organic adalah bertani selaras
alam, bertani dengan mengedepankan prinsip hidup harmonis. Pertanian organik
tepatnya adalah bertani yang tidak eksploitatif. Prinsip selaras alam ini
menjadi nilai-nilai yang diteruskan oleh para pendukung gerakan pertanian
organik dari generasi ke generasi. Jika petani yang merupakan pilar utama dari
gerakan pertanian organik tersingkir dari perkembangan perdagangan produk
pertanian organik maka gerakan pertanian organik juga akan tersingkir. Perdagangan
produk pertanian organik akan dipenuhi dengan semangat eksploitatif semangat
yang dikritik oleh gerakan pertanian organik.
Yogyakarta, 5 Juni 2011
[1] Presiden Aliansi Organis Indonesia. Disampaikan pada acara Pertemuan Regional Jawa-Bali- NTT Aliansi Organis Indonesia di Yogyakarta
pada tanggal 8 Juni 2011.
[2] Scialabba Nadia El-Hage, 2005. Global Trends in Organic Agriculture Markets and Countries’ demand
for FAO assistance. Global Learning Opportunity-
International Farming Systems Association, Roundtable of Organic Agriculture.
Rome, 1
November 2005.
[3]
Aliansi Organis Indonesia,
2011. Statistik Pertanian Organik Indonesia 2010.
[4]
Beberapa super market di awal tahun 2011 meminta produser melengkapi produknya
dengan sertifikat dari lembaga sertifikasi.
[5] Aliansi Organis Indonesia, 2011.
Statistik Pertanian Organik Indonesia 2010.
[6] Diperbarui pada bulan Juli 20110 dengan SNI
6729:2010
[7] AOI Newsletter Edisi 01/Th01/Maret-April 2011. http://www.organicindonesia.org/files/edition_2c5166446dfd1de774eb3a026aa7c4e102cfb738.pdf
[8] Hall Stephen,
2007. Australia’s
organic trilemma: public versus private organic food standardization.
PhD Candidate, School
Of Government, University of Tasmania.
Presented to the Australasian Political Studies Association
Conference Monash
University 24 -26 September
2007
[9] Grow S and Greene C, 2007. Impact of international organic markets on
small U.S.
producers.
[11] I. Gst. Kt. Agung Alit. Fair Trade dan Free Trade.
Dalam Organis. Edisi 22. Thn 6 (Jan-Mar 2009) http://www.organicindonesia.org/files/edition_96b7eff1993fbd68dc73ff4f29f768b7126c84d0.pdf
I. Gst. Kt. Agung Alit pada saat menulis
artikel ini menjadi Sekjen Forum Fair Trade Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar