Senin, 05 September 2011

Dimana petani kecil ditengah hiruk pikuk perdagangan produk pertanian organic.

Era Regulasi Perdagangan Produk Pertanian Organik di Indonesia:
Dimana petani kecil ditengah hiruk pikuk perdagangan produk pertanian organic.
Oleh: Sabastian Eliyas Saragih[1]

Petani yang sedang belajar untuk penjaminan mutu organik(PAMOR)

Hiruk Pikuk Perdagangan Produk Pertanian Organik
Dalam beberapa dekade terakhir ini secara global maupun nasional pasar pertanian organik berkembang sangat pesat Scialabba (2005)[2] dari FAO (Food and Agriculture Organisation) melaporkan selama tahun 1995-2004 sektor pertanian organik mengalami pertumbuhan rata rata sekitar 15-20% per tahun sementara sektor industri pangan secara kesuluruhan hanya mengalami pertumbuhan rata rata sekitar 4-5% per tahun.  Menurut Organic Monitor (2011) trend pertumbuhan antara 15-20% per tahun ini masih bertahan sampai tahun 2010.
Secara nasional memang belum ada angka yang bisa didapat tentang pertumbuhan ini. Namun berdasarkan survei yang dilakukan oleh AOI (2011)[3] di beberapa kota dapat disimpulkan bahwa jumlah produser baru, pemasok ke super market dan merek dagang semakin bertambah. Komoditas yang diperdagangkan juga semakin beragam termasuk telulr, dan beberapa jenis beras khusus. Harga sayuran rata-rata meningkat 18% dibandingkan harga sayuran sejenis di tahun sebelumnya. Dan jika dibandingkan dengan harga sayuran konvensional di pasar tradisional maka harga rata-rata produk pertanian organik di super market adalah antara 2-3 kali lipat.
Jika secara global perdagangan produk pertanian organik 20 tahun yang lalu didominasi oleh toko-toko khusus maupun penjualan langsung ke komunitas konsumen, maka dalam kurun waktu 10 tahun terakhir trend perdagangan global sudah mulai bergeser ke pasar mainstream yaitu super market. Di Indonesia trend yang sama juga berlangsung. Produk pertanian organik semakin mudah ditemui di super market. Namun pada umumnya produk pertanian organik di super market adalah tidak bersertifikat[4].
Statistik Pertanian Organik 2010 (SPOI)[5] yang dipublikasikan oleh AOI mendata bahwa total luas area pertanian organik di Indonesia tahun 2010 adalah 238,872.24 Ha, meningkat 10% dari tahun sebelumnya. Angka ini mencakup luas area pertanian organic yang disertifikasi (organik dan konversi), dalam proses sertifikasi, sertifikasi PAMOR dan tanpa sertifikasi. Kebanyakan produk yang disertifikasi adalah produk eksport seperti kopi, cacao, madu, mete.
Hal lain yang tidak kalah menariknya adalah kecenderungan restoran besar untuk menggunakan beras organik sebagai penarik konsumen. Lebih mengagetkan lagi adalah adanya menu nasi organik di salah satu restoran cepat saji Kentucky Fried Chicken.
Dari gambaran di atas ini kita bisa menyimpulkan bahwa perdagangan produk pertanian organik sedang tumbuh pesat.
Regulasi Pertanian Organik
Di Indonesia secara hukum pada dasarnya produk yang dijual sebagai produk organik adalah produk yang diproduksi sesuai dengan Standard Nasional Indonesia (SNI) Sistem Pangan Organik yang disahkan oleh Badan Standardisasi Nasional melalui BSN SNI 01-6729-2002[6]. Untuk membuktikan bahwa proses produksi memenuhi standard tersebut maka produk tersebut harus disertifikasi oleh lembaga sertifikasi yang mendapat akreditasi dari pemerintah melalui KAN (Komite Akreditasi Nasional). Pelanggaran terhadap aturan ini adalah merupakan pelanggaran terhadap UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Penggunaan standard dan label (sertifikasi) merupakan upaya pemerintah melindungi konsumen dan petani organik dari mereka-mereka yang berlaku curang di dalam melakukan perdagangan produk organik. Upaya pemerintah Indonesia ini sebenarnya mengadopsi sistem perdagangan produk organik yang berlaku secara umum di dunia internasional.

Walaupun pelaksanaan regulasi ini belum optimal namun secara pasti peraturan ini akan semakin berlaku efektif. Sejak awal tahun 2011 misalnya beberapa super market sudah mensyaratkan sertifikat organik bagi produk organik yang di pasok supplier. Padahal produk organik tersebut sebelum-sebelumnya sudah secara rutin mengisi gerai-gerai di super market tersebut. Permintaan super market ini sejalan dengan adanya surat edaran pemerintah untuk hanya memasarkan produk pertanian organik yang memiliki sertfikat dari lembaga yang sudah mendapat akreditasi dari pemerintah.

Persoalannya adalah, kalau peraturan ini berlaku efektif, apakah petani kecil masih bisa menjual produk pertanian organiknya?

Perlahan tapi pasti, era regulasi pangan organik akan menyingkirkan petani berskala kecil dari hiruk pikuk perdagangan produk organik. Perkembangan perdagangan produk organik yang sebenarnya berpeluang meningkatkan kesejahteraan petani, membebaskan petani kecil dari kemiskinan dan ketidak adilan, dan menjamin keberlanjutan penghidupan, ternyata justru semakin menyingkirkan petani dan tentu saja mengancam keberlanjutan penghidupan. Petani kecil yang secara turun temurun mengembangkan pertanian organik justru tersingkir ketika produk organik semakin diminati oleh masyarakat. Ketersingkirannya bukan karena dia merubah cara produksinya tetapi karena regulasi yang ada menutup aksesnya ke pasar.

Ada dua alasan penting yang membuat petani berskala kecil tersingkir akibat regulasi perdagangan produk organik tersebut yaitu:
1.       Biaya sertifikasi tidak terjangkau oleh petani kecil.
Biaya sertifikasi relatif mahal khususnya jika lahan pertanian yang akan disertifikasi adalah kecil. Biaya sertifikasi nasional untuk wilayah di Jawa misalnya kurang lebih antara Rp 5-15 juta per satu unit usaha tani. Biaya sertifikasi ini tentu saja tidak akan bisa dibayar oleh petani kecil yang rata-rata luas lahannya di bawah 1 Ha. Biaya ini bisa meningkat 3-5 kali lipat jika sertifikasi yang dibutuhkan adalah untuk pasar internasional. Memang ada opsi dimana petani boleh meng-koordinasikan beberapa lahan pertanian yang satu hamparan menjadi satu sistem produksi untuk disertifikasi dan kemudian mengembangankan mekanisme kontrol internal yang disebut dengan Internal Control System. Model ini sebenarnya merupakan perpanjangan tangan lembaga sertifikasi kepada kelompok pengelola yang dibentuk oleh mereka-mereka yang lahan pertanian secara bersama ingin disertifikasi. Namun tetap saja sertifikat dikeluarkan oleh lembaga sertifikasi dan untuk proses sertifikasi tersebut petani harus membayarnya.

Disamping itu sertifikat yang dikeluarkan lembaga sertifikasi juga memiliki masa berlaku paling lama 1 tahun dan jika sudah habis masa berlakunya maka lahan produksi harus diinspeksi lagi oleh lembaga sertifikasi agar sertifikat bisa diperpanjang. Tentu saja ini memerlukan biaya yang tidak sedikit.

2.       Standard dan proses sertifikasi yang ada tidak sesuai dengan budaya dan realitas petani.
Proses sertifikasi sangat sarat dengan proses verifikasi dokumen-dokumen transaksi yang dilakukan petani sehubungan kegiatan produksinya seperti misalnya untuk pengadaan bibit, kompos, dan sarana produksi lainnya.  Persoalannya adalah banyak sekali transaksi yang dilakukan petani tidak dilengkapi dengan dokumen tertulis yang layak menurut standard sertifikasi. Disamping itu, ketidak bersahabatan petani dengan tulis menulis membuat mereka kesulitan mengadakan dan mengelola dokumen-dokumen tersebut. Apalagi kebanyakan petani tinggal di rumah yang tidak didesain untuk memiliki tempat menyimpan dokumen secara rapi. Akibatnya sulit sekali bagi petani memenuhi standard dokumen agar layak mendapat sertfikat organik.


Posisi Aliansi Organis Indonesia
Prinsip dasar pertanian organik adalah keharmonisan ekosistem. Pertanian organik bukan sekedar tidak menggunakan bahan kimia buatan tetapi merupakan sebuah cara bertani dimana mendukung alam berproses sebagaimana seharusnya dia berproses. Alam tidak dieksploitasi untuk berproduksi secara eksploitatif, misalnya:
-          genetika alamiah mahluk hidup tidak diotak-atik hanya agar dia bisa berproduksi terus menerus
-          proses pembusukan alamiah yang bisa dilakukan organisme tertentu tidak diutak-atik agar bisa membusukkan lebih cepat dan lebih hebat dari kemampuan alamiahnya
-          proses makan memakan antara mahluk hidup di dalam ekosistem dipercepat hanya karena tidak ingin berbagi hasil dengan mahluk hidup lain.

Secara turun temurun petani telah mempraktekan prinsip-prinsip keharmonisan ini sampai pada era dimana revolusi di sektor pertanian dilakukan,  dan sifat serta sikap eksploitatif diperkenalkan. Hebatnya, pada umumnya petani kecil tidak terpengaruh dan tetap pada pilihannya menghormati alam dan bertani selaras dengan alam.

Tidak dapat dipungkiri bahwa perlindungan konsumen dan petani adalah sesuatu hal yang perlu dilakukan sehingga petani dan konsumen tidak dirugikan oleh para pihak yang berlaku curang dengan memperdagangankan produk non organik sebagai produk organik. Mungkin sistem sertifikasi adalah salah satu jawaban. Namun sistem yang ada harus tetap membuka akses bagi petani berskala kecil untuk bisa masuk.

Oleh sebab itu AOI melihat regulasi yang ada saat ini harus dilengkapi dengan hal-hal sebagai berikut:
1.       Penetapan standard pertanian organik mengacu kepada realitas dan budaya petani dan bersifat progressive realization.
Petani berskala kecil harus dimampukan untuk memenuhi standard. Karenanya pemenuhan standard harus bersifat progressive realization yang berarti melihat proses pemenuhan mencapai standard sebagai sebuah upaya sistematis dan bertahap. Proses pemenuhan standard harus berangkat dari kondisi dan realitas petani saat ini yang kemudian secara progressive dimampukan menuju standard yang ditentukan. Bukan sebaliknya dimana standard menjadi basis kriteria tanpa ada dukungan untuk memampukan petani dan lingkungannya mencapai kriteria ideal yang disebut standard.

Adalah kewajiban Negara untuk memampukan petani berskala kecil sehingga mampu memenuhi standard tersebut. Namun titik awal yang dilihat adalah praktek bertani organik petani saat ini. Petani kecil tidak boleh kehilangan haknya untuk menjual produk pertanian organik hanya karena tidak memenuhi standard yang jelas-jelas tidak sesuai dengan realitas penghidupan petani.

2.       Pengakuan atas sistem penjaminan berbasis komunitas
Penjaminan atas produk pertanian organik adalah mekanisme penting untuk melindungi petani organik dan konsumen. Namun mekanisme penjaminan tidak hanya dilakukan oleh lembaga sertifikasi. Pemerintah harus mengakui sistem penjaminan berbasis komunitas. Yang penting adalah ada pihak yang menjamin bahwa proses produksi yang dilakukan adalah secara organik. Para pihak tersebut adalah anggota komunitas itu sendiri ataupun bersama konsumen utamanya. Sistem penjaminan berbasis komunitas ini atau yang dalam pergaulan internasional gerakan pertanian organik disebut PGS (Participatory Guarantee System) sudah diakui di beberapa Negara seperti Prancis dan Brazil setara dengan system penjaminan oleh lembaga sertifikasi[7]. Secara ekstrim pemerintah Australia malah tidak mengatur sistem penjaminan di pasar domestiknya dan menyerahkan mekanisme penjaminan pasar domestik kepada sistem dan struktur yang ada[8].

3.       Tidak mewajibkan petani berskala kecil menggunakan sertifikat
Petani dengan jumlah penjualan per panen di bawah 50 juta rupiah atau luas lahan di bawah 1 Ha layak dibebaskan dari kewajiban harus menggunakan sertifikat tetapi tetap boleh menjual produknya sebagai produk pertanian organik. Negara seperti Amerika Serikat saja membebaskan petani kecil dengan skala penjualan dibawah US$ 5.000 untuk menjual produk organiknya dengan tidak menggunakan sertifikat[9].

4.       Dukungan biaya sertifikasi
Kebijakan ini yang paling banyak diambil oleh pemerintah di seluruh dunia. Pemerintah mengambil kewajiban membayar biaya sertifikasi bagi petani kecil dengan proporsi yang bermacam-macam. Pemerintah Amerika Serikat misalnya menanggung 75% dari biaya sertifikasi untuk petani-petani dengan skala luasan tertentu. Pemerintah Cina, India, dan banyak Negara lainnya juga melakukan hal yang sama.
5.       Mendorong dan mengkampanyekan Perdagangan Adil
Perdagangan yang adil adalah slogan gerakan yang dikumandangkan para pegiat gerakan sosial untuk mengkounter perdagangan bebas. Dalam bahasa Inggris kedua kata ini berdekatan yaitu Free Trade vs Fair Trade. Free Trade menjunjung tinggi kebebasan yang seringkali tidak seimbang. Petani miskin atau Negara miskin misalnya diajak berlomba lari secara bebas dengan petani kaya atau Negara kaya. Padahal karena kekayaannya Negara kaya atau petani kaya bisa membuat peraturan sehingga apa yang disebut bebas sebenarnya adalah kondisi yang menguntungkan mereka yang lebih berdaya. Hal yang sama terjadi dengan regulasi perdagangan produk pertanian organik dimana peraturan dibuat, tetapi jelas tidak bisa dipenuhi oleh petani kecil. Konteks ini juga terjadi dalam perjanjian antara Negara. Berangkat dari ketidak-adilan ini maka para pegiat gerakan sosial mempromosikan perdagangan alternatif yang disebut fair trade atau perdagangan yang adil. Ada banyak organisasi pendukung gerakan fair trade yang tergabung dalam organisasi seperti Fairtrade International, World Fair Trade Organization, Network of European Worldshops , dan European Fair Trade Association. Definisi yang digunakan secara informal oleh keempat organisasi ini tentang fair trade adalah ”a trading partnership, based on dialogue, transparency and respect, that seeks greater equity in international trade” atau “ kerjasama dagang berdasarkan dialog, transpransi dan rasa hormat, untuk mencapai kesetaraan yang lebih besar di perdagangan internasional. [10]  Untuk itu ada beberapa prinsip fair trade atau perdagangan yang adil yang menjadi pegangan para pegiat gerakan ini yaitu antara lain:
·         Market Access for Marginalised producers (akses pasar bagi produser marginal)
·         Sustainable and equitable relationship (hubungan yang setara dan berkelanjutan)
·         Capacity building and empowerment (pengembangan kapasitas dan penguatan)
·         Consumers awareness raising and advocacy (peningkatan kesadaran konsumen dan advokasi)
·         Fair trade as a social contract (perdagangan yang adil sebagai kontrak social)
·         Adhere on ILO standard on labour (mengacu kepada standard ILO untuk perburuhan)

Sementara itu gerakan fair trade di Indonesia[11] mengusung prinsip-prinsip seperti antara lain:
·         Dalam kegiatan bisnis  harus ada unsur aktif  memerangi kemiskinan
·         Pembayaran layak dan lancar
·         Tidak mempekerjakan tenaga kerja anak
·         Menghormati lingkungan
·         Kesetaraan gender
·         Hubungan  bisnis yang berkesinambungan
·         Ada unsur partnership yang saling membesarkan.




Penutup
Pertanian organik bukanlah sekedar bertani dengan tidak menggunakan bahan kimia buatan. Pertanian organic adalah bertani selaras alam, bertani dengan mengedepankan prinsip hidup harmonis. Pertanian organik tepatnya adalah bertani yang tidak eksploitatif. Prinsip selaras alam ini menjadi nilai-nilai yang diteruskan oleh para pendukung gerakan pertanian organik dari generasi ke generasi. Jika petani yang merupakan pilar utama dari gerakan pertanian organik tersingkir dari perkembangan perdagangan produk pertanian organik maka gerakan pertanian organik juga akan tersingkir. Perdagangan produk pertanian organik akan dipenuhi dengan semangat eksploitatif semangat yang dikritik oleh gerakan pertanian organik.

Yogyakarta, 5 Juni 2011


[1] Presiden Aliansi Organis Indonesia. Disampaikan pada acara Pertemuan Regional Jawa-Bali- NTT Aliansi Organis Indonesia di Yogyakarta pada tanggal 8 Juni 2011.
[2] Scialabba Nadia El-Hage, 2005. Global Trends in Organic Agriculture Markets and Countries’ demand for FAO assistance. Global Learning Opportunity- International Farming Systems Association, Roundtable of Organic Agriculture. Rome, 1 November 2005.
[3] Aliansi Organis Indonesia, 2011. Statistik Pertanian Organik Indonesia 2010.
[4] Beberapa super market di awal tahun 2011 meminta produser melengkapi produknya dengan sertifikat dari lembaga sertifikasi.
[5] Aliansi Organis Indonesia, 2011. Statistik Pertanian Organik Indonesia 2010.
[6] Diperbarui pada bulan Juli 20110 dengan SNI 6729:2010
[8] Hall  Stephen, 2007. Australia’s organic trilemma: public versus private organic food standardization.
PhD Candidate, School Of Government, University of Tasmania. Presented to the Australasian Political Studies Association Conference  Monash University 24 -26  September  2007
[9] Grow S and Greene C, 2007.  Impact of international organic markets on small U.S. producers.
University of Maryland- United States. http://www.bean-quorum.net/EAAE/pdf/EAAE105_Paper058.pdf
[11] I. Gst. Kt. Agung Alit. Fair Trade dan Free Trade. Dalam Organis. Edisi 22. Thn 6 (Jan-Mar 2009) http://www.organicindonesia.org/files/edition_96b7eff1993fbd68dc73ff4f29f768b7126c84d0.pdf
I. Gst. Kt. Agung Alit pada saat menulis artikel ini menjadi Sekjen Forum Fair Trade Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar